Selasa, 01 Februari 2011

Ilmu Perundang-undangan: Bab I PENDAHULUAN

A. Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan

Menurut A Hamid S. Attamimi bahwa[1]: Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan merupakan ilmu baru. Di Indonesia Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan mulai tumbuh sejak 1982, yaitu ketika pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia mulai diberikan sistem pendidikan yang disebut Sistem Kredit Semester. Hal itu terjadi setelah melampaui masa ‘percobaan’ dengan nama Kuliah Ketrampilan Perundang-undangan sejak 1975 Cabang Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan yang diajarkan baru seginya atau sisinya yang normatif dan berorientasi kepada melakukan perbuatan penyusunan dan perumusan perundang-undangan. Mata kuliah tersebut diberi nama Ilmu Perundang-undangan (Gesetzgebungs lehre atau wetgevingsleer). Sebagai ilmu baru, maka Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan perlu dikembangkan dan disebarluaskan.

Diperkirakan sekarang ini terdapat sekitar 650 cabang keilmuan yang kebanyakan belum dikenal oleh orang-orang awam[2], dan salah satu cabang keilmuan yang masih baru adalah ilmu pengetahuan perundang-undangan.

Menurut Burkhardt Krems, Gesetzgebungswissenschaft yang diterjemahkan sebagai Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan mengandung dua sisi yakni Gesetzgebungstheorie yang diterjemahkan dengan Teori Perundang-undangan sebagai cabang yang berorientasi pada kejelasan dan kejernihan pemahaman dan yang bersifat kognitif serta Gesetzgebungslehre yang diterjemahkan dengan Ilmu Perundang-undangan sebagai cabang yang berorientasi pada melakukan perbuatan pelaksanaan dan bersifat normatif.

Disamping terdorong untuk mengembangkan dan menyebarluaskan Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, juga karena terdorong oleh langkanya literatur mengenai Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, maka penulis tergerak untuk menulis buku ini, sebatas pada pengantar yang tidak sempurna serta dibatasi hanya pada Ilmu Perundang-undangannya saja.

Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan (terjemahan Gesetzgebungs wissenschaft) merupakan ilmu baru, dikembangkan terutama di negara-negara yang berbahasa jerman, negeri Belanda dan negara-negara lain sekitarnya yang menerima manfaatnya. Di negara-negara dengan sistem common law, Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan tidak berkembag subur. Hal ini disebabkan karena pertama, sistem kehidupan hukum di sana tidak membutuhkan perundang-undangan sebagai sumber yang utama bagi pembentukan hukum, dan kedua peraturan perundang-undangan tidak ditempatkan sebagai instrumen yang terpenting bagi perwujudan kebijaksanaan negara dan pemerintah dalam melakukan pengubahan tata kehidupan masyarakat. Disana yang tumbuh hanyalah bagian-bagian atau sempalan-sempalan dari Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, interpretasi atau penafsiran perundang-undangan, dan metode pembentukan perundang-undangan.

Diantara para pelopor Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, Burkhardt Krems paling jelas dalam membagi Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan (Grudfragen der Gesetz gebungslehre) ke dalam Teori Perundang-undangan (Gesetzgebungstheorie) dan Ilmu Perundang-undangan (Gesetz gebungslehre).[3]

B. Perundang-undangan sebagi Ilmu

Mengacu pada pendapat Jujun S. Suriasumantri,[4] maka perundang-undangan sebagai ilmu harus dapat menjawab beberapa pertanyaan, yakni:

  1. Obyek apa yang ditelaah? Bagaimana ujud yang hakiki dari obyek tersebut? bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (sepert berfikir, merasa dan mengindera) ya membuakan peahuan?
  2. Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebu kebenarn itu sendir? Apakah kiterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetaahuan yang berupa ilmu?
  3. Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitn antara cara penggunaan terseut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional?

Pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan kelompok pertanyaan yang pertama disebut landasan ontologis; kelompok yang kedua adalah epistemologis; dan kelompok ketiga adalah aksiologis.

Dari ketiga kriteria tersebut, maka jelas bahwa Perundang-undangan memenuhi persyaratan sebagai ilmu.



[1] A Hamid S. Attamimi, Teori Perundang-undangan Indonesia, Suatu Sisi Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan Indonesia Yang menjelaskan dan Menjernihkan Pembaharuan, Pidato diucapkan pada pengukuhan Jabatan guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Jakarta pada tanggal 25 April 1992.

[2] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000, hlm. 93.

[3] Burkhardt Krems dalam A. Hamid S. Attamimi, Ilmu Perundang-undangan (Gesetzgebungslehre) dan Teori Perundang-undangan (Gesetzgebungstheorie) Serta Pengajarannya diFakultas Hukum, pada PENGANTAR dalam Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Dasar-dasar dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 1998, hlm.xvi-xvii.

[4] Jujun S. Suriasumantri, op. cit., hlm 33 – 34.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar